SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
- SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
PERKEMBANGAN
SOSIOLOGI DI EROPA
Sosiologi awalnya merupakan menjadi bagian
dari filsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu,
pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik
perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan
dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang
masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan
kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang
masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi
berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap
tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan
benar (threats to the taken for granted world).
L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman
tersebut meliputi :
1.
Terjadinya
dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis
2.
Tumbuhnya
kapitalisme pada akhir abad ke-15
3.
Perubahan
di bidang sosial dan politik
4.
Perubahan
yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther
5.
Meningkatnya
individualisme
6.
Lahirnya
ilmu pengetahuan modern
7. Perkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman
tersebut menyebabkan perubahan -perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat
mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena
beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat
perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya
demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu
dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat.
Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau
pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa
yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya
Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat
hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi
perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk
mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua
penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri
sendiri.Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur
gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum
sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang
akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi
sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui
bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap
lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi,
Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles
of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian
tentang masyarakat. la menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia
dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas
di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu
bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam
bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang
tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme
hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada
peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu
transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang
kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang
dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI INDONESIA
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah
berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan
unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV,
misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan
yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal
sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan
konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam
proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga
kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa
orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19.
Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk
memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan
pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan
oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi
di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai
ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi
belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu
pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga
perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun
hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan
waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan
tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di
dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang
perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk
menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan
sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam
bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang
menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai
mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin
terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar
negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam
sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama
kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang
memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat
sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi
yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang
dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi
demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku
sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah
sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi
baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari
bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo
Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan
tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan
jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai
universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih
mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang
diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di
Indonesia.
- SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
PENGERTIAN
ANTROPOLOGI
Antropologi berasal dari kata Yunani
antropos, yang berarti “manusia” atau “orang’, dan logos, yang berarti studi
(ilmu). Jadi, antropologi merupakan disiplin yang mempelajari manusia
berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya (T.Ihromi, 2006: 1).
Antropologi
merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari budaya masyarakat.
Antropologi juga mempelajati manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk
sosial. Ilmu ini lahir atau muncul dari ketertarikan orang-orang Eropa yang
melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya yang berbeda di Eropa.
Antropologi mirip dengan sosiologi. Apabila antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, dalam arti kesatuan masyarakat yang
tinggal di daerah yang sama, sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat
dan kehidupan sosialnya.
DEFINISI
ANTROPOLOGI MENURUT PARA AHLI
Berikut
ini adalah beberapa pengertian antropologi menurut para ahli :
·
William
A. Havilan
Antropologi adalah studi tentang manusia yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya,
serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
·
David
Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari
keingintahuan yang tidak terbatas tentang manusia.
·
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentukfisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkan.
TAHAPAN
PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Koentjaningrat memetakan perkembangan ilmu
antropologi menjadi empat tahap berikut :
a. Tahap
Pertama (sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15 sampai abad ke-16,
bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba menjelajahi dunia, yang dimulai dari
Afrika, Amerika, Asia, hingga Australia. Dalam penjelajahannya, mereka banyak
menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing.
Kemudian, mereka mencatat kisah-kisah petualangan dan penemuannya di buku
harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka pun mencatat segala sesuatu yang
berhubungan dengan suku-suku asing, mulai ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan
masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut.
Tahap pertama ditadai dengan tulisan tangan
bangsa Eropa pada akhir abad ke-15. Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan
bangsa-bangsa yang mereka singgahi, yang mencakup adat istiadat, suku, susunan
masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik. Deskripsi tersebut sangat menarik bagi
masyarakat Eropa karena berbeda dengan keadaan Eropa pada umumnya. Bahan
deskripsi itu disebut juga Etnografi (Etnos berarti bangsa).
Bahan etnografi itu menarik perhatian
pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19, perhatian bangsa
Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah,
menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan
seluruh himpunan bahan etnografi.
b. Tahap
Kedua (tahun 1800-an)
Pada
tahap ini, bahan-bahan etnografi telah disusun menjadi karangan-karangan
berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan
kebudayaan secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka
menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif, dan
sebaliknya menganggap Eropa sebagai bangsa-bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada
tahap kedua mereka ingin menyatukan tulisan atau deskripsi yang tersebar luas
itu dan menerbitkannya. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi
masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat
lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah,
bangsa-bangsa dunia digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860,
terbit karangan yang mengklasifikasikan berbagai kebudayaan dunia berdasarkan
tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi.
Dengan
demikian, pada tahap ini, antropologi telah bersifat akademis. Antropologi
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif untuk memperoleh pengertian
mengenai tingkat-tingkat perkembangan dalam sejarah evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia di dunia.
c. Tahap
Ketiga (awal abad ke-20)
Pada
tahap ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua
lain, seperti Asia, Amerika, Australia, dan Afrika. Dalam rangka membangun
koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa
asli, berbagai pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta
hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa
berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk
itulah, mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa
di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan
pemerintah kolonial.
Pada
tahap ketiga, antropologi menjadi ilmu yang bersifat praktis. Antropologi pada
tahap ini mempelajari masyarakat jajahan demi kepentingan pemerintah kolonial.
Hal ini berlangsung sekitar pada awal abad ke-20. Pada abad ini, antropologi
semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat di daerah
jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mengetahui cara menghadapi masyarakat
daerah jajahannya. Selain itu, bangsa-bangsa terjajah pada umumnya belum
sekompleks bangsa Eropa Barat. Oleh karena itu, mempelajari bangsa-bangsa
terjajah bagi bangsa Eropa dapat menambah pengertian mereka tentang masyarakat
mereka sendiri (bangsa Eropa Barat) yang kompleks.
d. Tahap
Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada tahap ini, antropologi berkembang secara
pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa mulai
hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa eropa.
Pada masa ini pula, terjadi sebuah perang
besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam
kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara di dunia kepada kehancuran
total. Kehancuran yang menghasilkan kemiskinan, kesenjagan sosial, dan kesengsaraan
yang tak berujung. Akan tetapi, pada saat itu juga, muncul semangat
nasionalisme bangsa-bangsa yang di jajah Eropa untuk keluar dari belenggu
penjajahan. Sebagian dari bangsa tersebut berhasil, tetapi masih memendam
dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi
ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa, seperti suku bangsa Saomi, Flam, dan Lapp.
Pada tahap keempat, antropologi bekembang
sangat luas, baik dalam akurasi bahan pengetahuannya maupun ketajaman
metode-metode ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20.
Sasaran penelitian antropologi pada masa ini bukan lagi suku bangsa primitif
dan bangsa Eropa Barat, melainkan beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai
keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa di
daerah pedesaan yang ada di Amerika dan Eropa Barat. Peralihan sasaran
penelitian itu terutama disebabkan oleh munculnya kebencian terhadap penjajahan
dan semakin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitif.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. H. Mahmud, M. Si, dkk. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung :
Pustaka Setia
Prof. Dr. S. Nasution, MA. 2010. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi
Aksara