sosio-antropologi pendidikan

On Minggu, 22 April 2012 0 komentar


SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI


  • SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI 
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI EROPA
Sosiologi awalnya merupakan menjadi bagian dari filsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world).
L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi :
1.    Terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis
2.    Tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15
3.    Perubahan di bidang sosial dan politik
4.    Perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther
5.    Meningkatnya individualisme
6.    Lahirnya ilmu pengetahuan modern
7.    Perkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.

Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan -perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI INDONESIA
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.


  • SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
PENGERTIAN ANTROPOLOGI

            Antropologi berasal dari kata Yunani antropos, yang berarti “manusia” atau “orang’, dan logos, yang berarti studi (ilmu). Jadi, antropologi merupakan disiplin yang mempelajari manusia berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya (T.Ihromi, 2006: 1).
            Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari budaya masyarakat. Antropologi juga mempelajati manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Ilmu ini lahir atau muncul dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya yang berbeda di Eropa. Antropologi mirip dengan sosiologi. Apabila antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama, sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

DEFINISI ANTROPOLOGI MENURUT PARA AHLI

            Berikut ini adalah beberapa pengertian antropologi menurut para ahli :
·         William A. Havilan
Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
·         David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang manusia.
·         Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentukfisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan.

TAHAPAN PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI

            Koentjaningrat memetakan perkembangan ilmu antropologi menjadi empat tahap berikut :
a.    Tahap Pertama (sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15 sampai abad ke-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba menjelajahi dunia, yang dimulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga Australia. Dalam penjelajahannya, mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing. Kemudian, mereka mencatat kisah-kisah petualangan dan penemuannya di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka pun mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing, mulai ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut.
Tahap pertama ditadai dengan tulisan tangan bangsa Eropa pada akhir abad ke-15. Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan bangsa-bangsa yang mereka singgahi, yang mencakup adat istiadat, suku, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik. Deskripsi tersebut sangat menarik bagi masyarakat Eropa karena berbeda dengan keadaan Eropa pada umumnya. Bahan deskripsi itu disebut juga Etnografi (Etnos berarti bangsa).
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19, perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

b.    Tahap Kedua (tahun 1800-an)
Pada tahap ini, bahan-bahan etnografi telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif, dan sebaliknya menganggap Eropa sebagai bangsa-bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada tahap kedua mereka ingin menyatukan tulisan atau deskripsi yang tersebar luas itu dan menerbitkannya. Isinya disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi. Dari sinilah, bangsa-bangsa dunia digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar tahun 1860, terbit karangan yang mengklasifikasikan berbagai kebudayaan dunia berdasarkan tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi.
Dengan demikian, pada tahap ini, antropologi telah bersifat akademis. Antropologi mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif untuk memperoleh pengertian mengenai tingkat-tingkat perkembangan dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia di dunia.

c.    Tahap Ketiga (awal abad ke-20)
Pada tahap ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain, seperti Asia, Amerika, Australia, dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, berbagai pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah, mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Pada tahap ketiga, antropologi menjadi ilmu yang bersifat praktis. Antropologi pada tahap ini mempelajari masyarakat jajahan demi kepentingan pemerintah kolonial. Hal ini berlangsung sekitar pada awal abad ke-20. Pada abad ini, antropologi semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat di daerah jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mengetahui cara menghadapi masyarakat daerah jajahannya. Selain itu, bangsa-bangsa terjajah pada umumnya belum sekompleks bangsa Eropa Barat. Oleh karena itu, mempelajari bangsa-bangsa terjajah bagi bangsa Eropa dapat menambah pengertian mereka tentang masyarakat mereka sendiri (bangsa Eropa Barat) yang kompleks.

d.    Tahap Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada tahap ini, antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa eropa.
Pada masa ini pula, terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran yang menghasilkan kemiskinan, kesenjagan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Akan tetapi, pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang di jajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa tersebut berhasil, tetapi masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa, seperti suku bangsa Saomi, Flam, dan Lapp.
Pada tahap keempat, antropologi bekembang sangat luas, baik dalam akurasi bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20. Sasaran penelitian antropologi pada masa ini bukan lagi suku bangsa primitif dan bangsa Eropa Barat, melainkan beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa di daerah pedesaan yang ada di Amerika dan Eropa Barat. Peralihan sasaran penelitian itu terutama disebabkan oleh munculnya kebencian terhadap penjajahan dan semakin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitif.


DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. H. Mahmud, M. Si, dkk. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia
Prof. Dr. S. Nasution, MA. 2010. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara


Read more ...»